Sabtu, 23 Juli 2011

Sejarah Kongres Wina

Kongres Wina  1815 adalah sebuah pertemuan antara para wakil dari kekuatan-kekuatan besar di Eropa. Pertemuan ini dipimpin oleh negarawan Austria, Klemens Wenzel von Metternich dan diadakan di Wina, Austria dari 1 September 1814 hingga 9 Juni 1815. Tujuannya adalah untuk menentukan kembali peta politik di Eropa setelah kekalahan Perancis kekuasaan Napoleon pada musim semi sebelumnya.
Perbicangan dalam kongres ini tetap berlanjut meskipun Napoleon Bonaparte, mantan Kaisar Perancis kembali dari pengasingan dan melanjutkan kekuasaan di Perancis pada Maret 1815. Pasal Terakhir Kongres ditandatangani sembilan hari sebelum kekalahan terakhir Napoleon pada Pertempuran Waterloo. Secara teknis, "Kongres Wina" sebanrnya tidak pernah dilaksanakan, karena Kongres tersebut tidak pernah bersidang dalam sesi pleno, namun hanya berbincang dalam sesi-sesi informal yang dihadiri para kekuatan besar.
Beberapa pemimpin dan wakil negara yang hadir:
  1. Pangeran Metternich dari Austria
  2. Viscount Castlereagh (Britania Raya)
  3. Tsar Alexander I dari Rusia
  4. Charles Maurice de Talleyrand-Perigord (Perancis)
Perkembangan Kodifikasi Hukum Diplomatik Dalam pergaulan masyarakat, negara sudah mengenal semacam misi-misi konsuler dan diplomatik dalam arti yang sangat umum seperti yang dikenal sekarang pada abad ke-16 dan ke-17, dan penggolongan Kepala Perwakilan Diplomatik telah ditetapkan dalam Kongres Wina 1815 sebagai berikut :
  1. Duta-duta besar dan para utusan (ambassadors and legate) 
  2. Minister plenipoteniary dan envoys extraordinaryKuasa Usaha (charge d’ affaires)Dan setelah PBB didirikan pada tahun 1945, dua tahun kemudian telah dibentuk Komisi Hukum Internasional. Setelah tiga puluh tahun (1949-1979), komisi telah menangani 27 topik dan subtopik hukum internasional, 7 diantaranya adakah menyangkut hukum diplomatik, yaitu :
  • Pergaulan dan kekebalan diplomatik 
  • Pergaulan dan kekebalan konsuler. 
  • Misi-misi khusus 
  • Hubungan antara negara bagian dan organisasi internasional 
  • Masalah perlindungan dan tidak diganggu gugatnya pejabat diplomatik dan orang lain yang    memperoleh   perlindungan khusus menurut hukum internasional. 
  • Status kurir diplomatik dan kantong diplomatik yang diikutsertakan pada kurir diplomatik. 
  • Hubungan antara negara dengan organisasi internasional
Konvensi Wina 1961 mengenai hubungan diplomatikSetelah berdirinya PBB pada tahun 1945, untuk pertama kalinya pengembangan kodifikasi hukum internasional termasuk hukum diplomatik telah dimulai pada tahun 1949 secara intensif oleh Komisi Hukum Internasional khususnya mengenai ketentuan-ketentuan yang menyangkut kekebalan dan pergaulan diplomatik yang telah digariskan secara rinci.Konvensi Wina 1961 ini terdiri dari 53 pasal yang meliputi hampir semua aspek penting dari hubungan diplomatik secara permanen antar negara. Di samping itu, juga terdapat 2 protokol pilihan mengenai masalah kewarganegaraan dan keharusan untuk menyelesaikan sengketa yang masing-masing terdiri dari 8-10 pasal. Konvensi Wina 1961 itu beserta dengan dua protokolnya telah diberlakukan sejak tanggal 24 April 1964 hingga 31 Desember 1987. Ada total 151 negara yang menjadi para pihak dalam Konvensi tersebut dimana 42 di antaranya adalah pihak dalam protokol pilihan mengenai perolehan kewarganegaraan dan 52 negara telah menjadi pihak dalam protokol pilihan tentang keharusan untuk menyelesaikan sengketa.Pasal 1-19 Konvensi Wina 1961 menyangkut pembentukan misi-misi diplomatik, hak dan cara-cara untuk pengangkatan serta penyerahan surat-surat kepercayaan dari Kepala Perwakilan Diplomatik (Dubes); pasal 20-28 mengenai kekebalan dan keistimewaan bagi misi-misi diplomatik termasuk di dalamnya pembebasan atas berbagai pajak. Pasal 29-36 adalah mengenai kekebalan dan keistimewaan yang diberikan kepada para diplomat dan keistimewaan bagi anggota keluarganya serta staf pelayanan yang bekerja pada mereka dan pasal 48-53 berisi tentang berbagai ketentuan mengenai penandatanganan, aksesi, ratifikasi dan mulai berlakunya Konvensi itu.
 
Konvensi Wina 1963 mengenai hubungan konsulerUntuk pertama kalinya usaha guna mengadakan kodifikasi peraturan-peraturan tentang lembaga konsul telah dilakukan dalam Konverensi negara-negara Amerika tahun 1928 di Havana, Kuba, di mana dalam tahun itu telah disetujui Convention on Consular Agents. Setelah itu, dirasakan belum ada suatu usaha yang cukup serius untuk mengadakan kodifikasi lebih lanjut tentang peraturan-peraturan tentang hubungan konsuler kecuali setelah Majelis Umum PBB meminta kepada Komisi Hukum Internasional untuk melakukan kodifikasi mengenai masalah tersebut.

Konvensi New York 1969 mengenai misi khususKonvensi ini Wina tahun 1961 dan 1963 telah mengutamakan kodifikasi dari hukum kebiasaan yang ada, sementara konvensi ini bertujuan untuk memberi peraturan yang lebih mengatur mengenai misi-misi khusus yang memiliki tujuan terbatas yang berbeda dengan misi diplomatik yang sifatnya permanen.

Konvensi New York ( kejahatan diplomatik) mengenai pencegahan dan penghukuman kejahatan terhadap orang- orang yang menurut hukum internasional termasuk para diplomat. Dalam perkembangannya, hukum diplomatik telah mencatat kemajuan lebih lanjut dengan secara khusus mengharuskan melalui sebuah konvensi, suatu kewajiban penting bagi negara penerima untuk mencegah setiap serangan yang ditujukan pada seseorang, kebebasan dan kehormatan para diplomat serta untuk melindungi gedung perwakilan diplomatik. Dalam tahun 1971, Organisasi Negara-negara Amerika telah menyetujui suatu konvensi tentang masalah tersebut. Dalam sidangnya yang ke-24 dalam tahun 1971, sehubungan dengan meningkatnya kejahatan yang dilakukan kepada misi diplomatik termasuk juga para diplomatnya, Majelis Umum PBB telah meminta Komisi Hukum Internasional untuk mempersiapkan rancangan pasal-pasal mengenai pencegahan dan penghukuman kejahatan-kejahatan yang dilakukan terhadap orang-orang yang dilindungi secara hukum internasional. Konvensi mengenai masalah itu akhirnya disetujui oleh Majelis Umum PBB di New York pada tanggal 14 Desember 1973 dengan rseolusi 3166(XXVII).Dalam mukadimahnya, ditekankan akan pentingnya aturan-aturan hukum internasional mengenai tidak boleh diganggu gugatnya dan perlunya proteksi secara khusus bagi orang-orang yang menurut hukum internasional harus dilindungi termasuk kewajiban-kewajiban negara dalam menangani dan mengatasi masalah itu. Konvensi New York 1973 ini terdiri dari 20 pasal dan walaupun hanya beberapa ketentuan tetapi cukup untuk mencakup berbagai aspek yang berkaitan dengan perlindungan dan penghukuman terhadap pelanggaran. 

Konvensi New York 1969 Isi dari konvensi ini membahas peringatan tentang perlakuan khusus selalu diberikan kepada misi khusus, tujuan dan prinsip-prinsip dari Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai kesetaraan kedaulatan setiap negara, pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional dan pengembangan hubungan persahabatan dan kerjasama antar Serikat, pentingnya pertanyaan tentang misi khusus diakui selama Konferensi PBB Pergaulan dan Kekebalan Diplomatik yang diadopsi oleh Konferensi pada tanggal 10 April 1961.

Konvensi New York 1969 beserta protokol pilihannya mengenai kewajiban untuk menyelesaikan pertikaian yang sudah berlaku sejak 21 juni 1985, telah diratifikasi oleh lebih dari lima puluh negara sampai dengan 31 desember 2004, 23 diantaranya telah menjadi pihak optional protocol. Konvensi mengenai Misi Khusus (Convention on Special Missions, New York 1969) telah diterima baik oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa pada tanggal 8 Desember 1969 di New York. Bahwa negara-negara dapat menggunakan Konvensi ini sebagai pedoman dalam hubungan internasional. Konvensi ini juga perlu ditinjau dengan undang-undang.

Arti Islam

Secara istilah arti islam adalah apa yang disyaratkan oleh ayat suci ini, yakni :

“Bala man aslama wajhahu lillahi wa hua muhsinun, falahu ajruhu ‘inda robbihi wala khoufun ‘alihim wala hum yahzanuun“.

Yakni, muslim adalah dia yang menyerahkan segenap wujudnya di jalan Allah taala. Yakni mewakafkan wujudnya untuk Allah taala. dan untuk mengikuti kehendak-kehendakNya, serta untuk meraih keridhaan_Nya. Kemudian dia berdiri teguh diatas perbuatan-perbuatan baik demi Allah taala. Dan dia menyerahkan segenap kekuatan amaliah wujudnya di jalan Allah. Artinya, secara akidah dan secara amalan, dia telah menjadi milik Allah taala semata.

Secara akidah adalah demikian, yakni dia memahami segenap wujudnya secara khakikat secagai sesuatu yang telah dicipatakan untuk mengenali Allah taala, untuk mentaati-Nya, dan untuk meraih kecintaaan serta keridhaan-Nya. Sedangkan secara amalan adalah demikian, yakni murni demi Allah dia melakukan kebaikan-kebaikan hakiki yang berkaitan dengan segenap kemampuannya dan yang berhubungan dengan segenap karunia anugerah Allah. Namun dengan penghayatan dan pendalaman sedemikian rupa seolah-olah pada pandangan keitaaannya dia sedang menyaksikan wajah Saang Ma’bud haqiqi itu.

Sekarang dengan menelaah ayat-ayat tersebut diatas , setiap orang berakal dapat memahami bahwa hakikat Islam baru dapat merasuk ke dalam diri sesoarang apabila wajudnya diwakafkan untuk Allah taala dan untuk jalan-Nya. Dan amanat-amanat yang dia terima dari Allah taala, dia serahkan kembali kepada Sang Penganugerah Sejati itu. Dan tidak hanya secara akidah saja , melainkan secara amalanpun dia memperlihatkan seluruh bentuk Islamnya serta hakikat sempurna Islam tersebut. Yakni seorang yang mengaku Islam membuktikan bahwa tanganya, kaki, kalbu, otak, akalnya, pemahamannya, kemarahannya, rasa kasihnya , kelembutan hatinya, ilmunya, segenap kekuatan rohani dan jasmani yang ia miliki, kehormatannya, hartanya, ketentraman dan kebahagiaanya dan apa saja yang ada secara zahir maupun batin mulai dari rambut-rambut di kepalanya hingga ke kuku-kuku kakinya , bahkan sampai niat-niatnya, partikel partikel kalbunya, dorongan nafsunya, kesemuanya itu telah mengikuti Allah taala sedemikian rupa sebagaimana anggota anggota tubuh yang dimiliki seseorang taat mengikuti orang itu. Ringkasnya hal itu harus terbukti bahwa langkah kebenaran itu telah mencapai suatu derajat dimana saja yang dia punyai sudah tidak lagi menjadi miliknya, melainkan telah menjadi milik Allah taala. Dan segenap bagan tubuh serta kemampuan, telah dikerahkakn untuk mengkhidmati ilahi, sekan-akan semua itu menjadi bagian tubuh Al haq.

Dan dengan menelaah ayat-ayat itu, hal inipun tampil dengan jelas dan nyata bahwa mewakafkan hidup di jalan Allah taala yang merupakan hakikat Islam ada dua maaam,.

Pertama, menyatakan hanya Allah taala itulah zat yang disembah , dituju dan dicinta serta tidak menyekutukan apapun dalam penyembahan, kecintaaan, takut dan harapan terhadap-Nya. Dan hal-hal yan berkaitan dengan pengkudusan-Nya, pemujian terhdap-Nya, penyembahan-nya dan segenap tata krama penyembahan-Nya, hukum-hukum-Nya, periintah perintah dan larangan-larangan-nya serta hal-hal yang berkaitan dengan keputusan dan takdir samawi , kesemuanya itu diterima dengan sepenuh hati. Kemudian sepenuhnya menggali segenap kebenaran suci dan makrifat-makrafiat suci yang merupakan sarana untuk mengetahui qudrat-qudrat-Nya yag maha luas, dan yang merupakan perantara untuk mengetahui derajat tinggi permerintah dan kerajaan-Nya, serta yang merupakan suatu penunutun kokoh untuk mengenali kemurkaan-kemurkaan dan anugerah-anugerah-Nya.

Jenis kedua, mewakafkan hidup di jalan Allah taala adalah mewakafkan hidup dalam mengkhidmati, bersikap solider sependeritaaan membantu mencarikan  jalan, membantu memikul beban dan benar-benar merasakan kepedihan hamba-hamba-Nya. Menanggung  penderitaan untuk memberikan ketentraman pada orang-orag lain, dsan rela merasakan kepedihan atas diri sendiri demi kesejahteraan orang lain.

Dari pernyataaan ini diketahui bahwa hakikat Islam sangat mulia. Dan seorang manusia tidak pernah dapat secara hakiki menyandang sebutan mulia sebagai warga Islam selama dia belum menyerahkan kepada Allah seluruh wujudnya bersama segenap kemampuan, keinginan dan kehendaknya. Dan mencabut diri dari keakuannya (egosime) serta dari segenap hal yang berkaitan dengn itu, dan menjauhi jalan keakuan tersebut.
Jadi, secara hakiki seseorang itu baru dapat dikatakan Muslim tatkala timbul suatu revolusi besar di dalam kehidupannya yang penuh kelalaian. Kemudian, eksistensi wujud nafs amarah yang dia miliki berserta segenap doronganya srentak punah. Lalu , setelah maut tersebut, di dalam dirinya mulai timbul kehidupan baru sebagai orang yang berbuat kebaikan demi Allah. Dan itu adalah suatu kehidupan suci yang di dalamnya tidak terdapat apapun kecuali ketaatan terhadap Sang Khalik dan sikap solider terhadap sesama makhluk.

Ketaatan terhadap sang khalik adalah demikian, yakni dia siap untuk menerima kehinaan dan kenistaan demi menzahirkan kehormatan, keperkasaan, serata keesaan-Nya. Dan dia siap menerima ribuan kematian demi menghidupkan tauhid-Nya. Dan  dalam ketaatan terhadap-Nya, satu tangan bisa rela memotong tangan yang lain. Dan dalam kecintaaan akan keagungan perintah-Nya serta dalam kehausan akan keridhoaan-Nya dia membenci dosa sedemikian rupa seakan-akan dosa itu adalah suatu api yang siap melahap ,atau bagai racun yang mematikan ,atau sebuah halilintar yang dapat menghanguskan, sehingga harus melarikan diri dari dosa dengan segenap kemampuannya. Ringksanya, untuk mengikuti kehendak-Nya, kita harus meninggalkan segenap kehendak jiwa kita. dan untuk melekat dengan-Nya , terimalah sayatan-sayatan luka yang sangat menyakitkan .d an untuk memberikan bukti ikatan-denganya, putuskanlah segenap ikatan nafsu.

Dan mengkhidmati makhluk Allah adsaalah dmeikian, yakni sekian banyak kebutuhan makhluk dan sekian banyak faktor serta jalan yang dicipatakan Sang Pembagi azali untuk membuat sebagian membutuhkan sebagian lainnya, dalam seenap hal tersebut memberikan manfaat kepada makkhluk semata-mata demi Allah dengan solidaritas hakiki tanpa maksud tertentu serta dengan solidaritas sejati yang dapat timbul dari dirinya. Dan membantu setiap yang membutuh kan bantuan , melalui kemampuan anugerah Allah. Dan menganugerahkan semua kekuatan untuk mengadakan perbaikan dunia dan akhirat bagi makhluk-makhluk.
Jadi inilah ketaatan dan pengkhdimatan demi Allah yang sangat mulia, yang bercampuur dengn kasiih sayag dan kecintaan, serta dipenuhi oleh ketulusan dan sikap meerendahkan diri. Inilah Islam dan hakikat Islam serta intisari yang diraih setelah memperoeh kematian dari nafs, dorongan alami, nafsu dan kehendak.” (Ainah Kamalaat-e-Islam, hal 57-62)

Sejarah HAM, Sejarah Pemaknaan

Tanggal 09 Desember setiap tahunnya diperingati sebagai hari Hak Asasi Manusia Internasional. Momen ini diperingati oleh semua umat manusia di seluruh dunia dengan sukacita dan harapan semoga penegakan HAM pada tahun mendatang lebih baik dari tahun sebelumnya. Meskipun tak sedikit, hari ini juga diisi dengan keprihatinan dan kecemasan akan masih jauhnya harapan dari kenyataan. Masih banyaknya kasus pelanggaran HAM baik ringan maupun berat yang belum tertangani dengan maksimal.
Meskipun proses penegakan HAM di berbagai negara telah berlangsung untuk kurun waktu yang panjang (terutama Amerika Serikat dan Eropa), namun ternyata HAM masih menyisakan perdebatan panjang yang belum pernah selesai sampai sekarang. Perdebatan tersebut adalah perdebatan seputar pendasaran HAM itu sendiri, perdebatan tentang standar-standar yang menjadi landasan sebuah hak bisa diklaim sebagai HAM sehingga dia bersifat: asasi, tak tercabut, universal, independen, dan internasional.
Pendasaran HAM
Beragam upaya yang telah dilakukan oleh para pendekar HAM untuk meneguhkan pendapat bahwa hak-hak yang tercantum dalam HAM memang benar-benar bersifat: asasi, tak tercabut, universal, independen, dan internasional. Kita bisa menyebut nama-nama besar seperti Plato, Thomas Aquinas, dan Imanuel Kant, merekalah beberapa pendekar HAM yang mencoba memberikan argumentasi rasional untuk mengakarkan HAM pada sebuah fondasi yang tidak tergoyahkan.

Namun usaha mereka tersebut, pada hari ini mulai kehilangan daya tariknya, salah satu pihak yang melakukan serangan keras adalah Richard Rorty. Dalam ceramahnya dengan judul Human Rights, Rationality, and Sentimentality yang dipaparkannya di depan Amnesti internasional pada tahun 1993, Rorty menyindir mereka (Plato, Thomas Aquinas, dan Imanuel Kant dan yang lain) dengan sebutan sebagai kaum foundationalism dan upaya mereka menurut Rorty adalah upaya yang outmoded and irrelevant, sudah usang dan tidak relevan.
Wandi S.Brata dalam sebuah tulisannya (Memikirkan kembali pendasaran Hak Asasi Manusia, 2000) juga melakukan serangan yang sama. Menurut Wandi, wacana mengenai Hak Asasi Manusia (dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Konvensi Eropa tentang HAM, Perjanjian Internasional tentang Hak Sipil dan politik, Perjanjian Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, Budaya) menyembunyikan masalah besar yang belum tertangani secara tuntas. Masalah yang dimaksud adalah pendasaran hak asasi manusia itu.
Kaum foundationalism mencoba membangun rasionalisasi atas pijakan HAM dengan berangkat dari hukum kodrat, bahwa kodrat manusia selalu bersifat: asasi, tak tercabut, universal, independen, dan internasional. Olehnya itu menurut mereka, hak yang didasarkan pada hukum kodrat tentulah juga memiliki sifat yang sama: asasi, tak tercabut, universal, independen, dan internasional.


Kesimpulan ini digugat oleh Wandi dengan mencoba memperjelas posisi antara hukum kodrat sebagai dunia fakta, dengan hak dan imperatif penghormatan atas hak sebagai dunia nilai. Bagi Wandi, dunia kodrat dan dunia nilai dipisahkan oleh jarak yang panjang, sehingga kesimpulan bahwa apa yang asasi, tak tercabut, universal, independen, dan internasional di dunia kodrat tidak serta merta bisa di klaim memiliki sifat yang sama di dunia nilai. Menurutnya, wacana hak asasi manusia bukan pertama-tama merupakan perkara subsumsi, atau menarik sesuatu (hak dan imperatif penghormatan hak tersebut) dari sesuatu yang lain (fakta-fakta), melainkan lebih merupakan proses pemaknaan.
Interpretasi atas dunia kodrat sebagai fakta obyektif menjadi dunia nilai sebagai sekumpulan hak asasi, mau tak mau terbelit pada persoalan proses pemaknaan pada umumnya. Sebagaimana dikatakan Derrida, bahwa dalam pemaknaan atas sebuah tanda, maka yang terjadi adalah penindihan satu makna atas makna yang lain. Ini berarti dibalik makna yang mengemuka terdapat banyak jejak-jejak makna yang tertindih dan disembunyikan.
Dalam konteks ini maka HAM sebagai sebuah hasil dari proses pemaknaan menurut Wandi pastilah selalu bersifat komuniter, sementara, tidak mutlak, dan selalu perlu dikembangkan sesuai dengan wawasan dan kesadaran komunitas mengenai nilai- yang mereka anggap penting bagi eksistensi mereka. HAM juga berarti negosiasi, kompromi, bahkan ajang kontestasi berdasarkan nilai-nilai yang dianggap penting bagi kelangsungan hidup komunitas tersebut.

Realitas inilah yang melatari David Ross untuk memperkenalkan istilah prime facie dalam bukunya The Right and the Good (1930). Prime facie mendakukan bahwa setiap kewajiban etis akan berlaku sampai ada pertimbangan lain yang menggagalkan keberlakuannya. Dalam konteks HAM, frime facie berarti bahwa setiap Hak Asasi Manusia hanya berlaku begitu saja sampai ada pertimbangan lain yang menggagalkannya. Karena itu, ini berarti bahwa klaim asasi, tak tercabut, universal, independen, dan internasional yang selama ini menyertai HAM, menjadi tidak berlaku.

Sejarah HAM
Pemahaman akan status HAM (dunia nilai) sebagai hasil dari proses pemaknaan atas fakta (dunia kodrat) dapat dilihat dalam beberapa momen sejarah yang menjadi tonggak penegakan HAM sebagai mana yang kita saksikan hari ini. Dalam sejarah terlihat bagaimana komunitas manusia yang bergulat dengan berbagai macam problem kemanusiaan kemudian merumuskan konsep-konsep tentang penjaminan dan penghormatan atas hak-hak tertentu yang dinamai sebagai konsep Hak Asasi Manusia.

Momen pertama adalah Declaration of Independence (1776) di Amerika Serikat yang sebenarnya tidak terlepas dari beberapa rumusan sebelumnya seperti Virginia Bills of Rights.
Dalam deklarasi ini dapat ditemukan kalimat, “Kita menganggap kebenaran-kebenaran berikut ini sebagai eviden begitu saja, bahwa semua manusia diciptakan sama, bahwa mereka dianugerahi oleh Pencipta mereka dengan hak-hak tertentu yang tak terasingkan”
Dalam Declaration of Independence (1776) di Amerika Serikat, pandangan bahwa Hak Asasi Manusia sebagai sesuatu yang berasal dari Tuhan masih sangat kuat berakar. Bila diajukan pertanyaan tentang kenapa hak tersebut asasi, tak tercabut, universal, independen, dan internasional? Maka jawabannya bahwa hak tersebut merupakan pemberian dari Tuhan yang menciptakan manusia. Maka melanggar hak ini juga berarti melawan Tuhan.

Momen selanjutnya adalah Deklarasi tentang Hak Manusia dan Warga Negara yang dikeluarkan di Perancis waktu Revolusi Perancis (1789) dan secara mendalam dipengaruhi oleh pernyataan-pernyataan hak dari Amerika. Deklarasi inipun masih mencoba mengaitkan keasasian hak-hak tersebut dengan Tuhan. Hal ini terlihat ketika Majelis Nasional Perancis membacakan deklarasi ini didahului dengan kalimat “dihadapan Wujud Tertinggi dan di bawah perlindungan-Nya”.

Meskipun semangat Revolusi Perancis begitu menggebu untuk mengobarkan tendensi Anti Kristen dan mengedepankan semangat pencerahan (aufklarung), namun mereka tetap mendasarkan pemikiran tentang Hak Asasi Manusia pada kodrat pemberian Tuhan. Pemikiran-pemikiran kaum foundationalism masih sangat mempengaruhi Deklarasi tentang Hak Manusia dan Warga Negara Perancis sebagaimana dalam Declaration of Independence di Amerika Serikat.

Terakhir adalah Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang diproklamasikan dalam Sidang Umum PBB pada 10 desember 1948. Hal yang baru dalam deklarasi ini adalah adanya pergeseran pendasaran HAM dari kodrat pemberian Tuhan kepada pengakuan akan martabat manusia. Diawal deklarasi disebutkan, “Menimbang bahwa pengakuan atas martabat yang melekat dan hak-hak yang sama serta tak terasingkan dari semua anggota masyarakat manusia merupakan dasar untuk kebebasan, keadilan dan perdamaian di dunia”.

Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia ini memiliki perbedaan mendasar dari deklarasi sebelumnya. Louis Henkin dan James W. Nickel dalam Making Senses of Human Rights (1996) menyebutkan bahwa manifesto Hak Asasi Manusia mutakhir telah melunakkan individualisme dalam teori-teori klasik mengenai hak-hak kodrati (sebagai hak yang berasal dari Tuhan), dan lebih menekankan sifat egalitarianisme. Setelah ini, penegakan HAM menjadi makin gencar di seluruh dunia, HAM telah mengalami internasionalisasi.

Setelah itu, Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia ini kemudian disusul dengan munculnya konvensi dan perjanjian internasional. Satu konvensi disusul oleh konvensi yang lain. Perjanjian internasional kemudian diikuti dengan perjanjian internasional yang lain sesuai dengan kebutuhan komunitas manusia. Hal ini menunjukkan bahwa rumusan konsep-konsep tentang penjaminan dan penghormatan atas hak-hak tertentu yang dinamai sebagai konsep Hak Asasi Manusia muncul sebagai jawaban atas berbagai macam problem kemanusiaan.




Macam-Macam Hak
Rumusan konsep-konsep tentang penjaminan dan penghormatan atas hak-hak tertentu yang dinamai sebagai konsep Hak Asasi Manusia, dalam sejarahnya mengalami perkembangan muatan sesuai dengan kebutuhan komunitas manusia dan muncul sebagai jawaban atas berbagai macam problem kemanusiaan. Setidaknya, hak-hak yang kemudian ditetapkan sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis; hak-hak dasar individual, hak-hak sipil dan politik, dan terakhir hak-hak ekonomi, sosial, budaya.

Pertama, hak-hak dasar individual. Hak-hak ini tercantum dalam Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia, berisi hak-hak yang sangat fundamental dalam hidup manusia, seperti penghidupan, kebebasan dan keselamatan individu. Hak untuk mendapatkan persamaan perlakuan di depan hukum, bebas dari perbudakan dan hak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama.

Kedua, hak-hak sipil dan politik; seperti kebebasan mengemukakan pendapat, kebebasan beragama, kebebasan berhimpun, kebebasan bergerak/berpindah tempat. Hak-hak yang dimaksud sudah mendapatkan landasan hukum dalam Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia, namun kemudian diperkuat melalui sebuah kovenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik yang kemudian diratifikasi oleh berbagai negara-negara di dunia.

Ketiga, hak-hak ekonomi, sosial, budaya; seperti hak mendapatkan pendidikan, pelayanan kesehatan dan penghidupan yang layak. Hak-hak inipun sudah disebutkan dalam Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia, kemudian diperkuat melalui kovenan internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial, budaya yang kemudian diratifikasi oleh berbagai negara-negara di dunia, kecuali Amerika Serikat
Kalau diperhatikan dengan seksama proses perumusan Hak Asasi Manusia sampai pada proses internasionalisasinya, terlihat bahwa ini semua merupakan usaha serius manusia untuk menjaga dan melindungi harkat dan martabat kemanusiaannya. Terlepas dari perdebatan seputar pendasaran HAM itu sendiri, nampaknya dukungan terhadap upaya penegakan HAM diseluruh dunia harus tetap dilakukan karena manusia sebagai makhluk yang berkesadaran dan berkebebasan harus dilindungi, apapun alasannya.

dialog


Dialog Jakarta-papua sebagai solusi terhadap penyelesaian masalah papua.
Isu dialog yang selama ini berhembus sejak tahun 2009 akhirnya terjawab sudah. Dengan terselenggaranya konfrensi perdamaian tanah papua pada tanggal 5-7 Juli 2011 yang lalu, membuktikan bahwa proses penyelesaian kasus di tanah papua hrus sesegera mungkin dilakukan. Masalah-masalah yang mencuat dalam dialog ini pada umumnya mempertanyakan status papua dalam bingkai Negara kesatuan republic Indonesia. Fakta sejarah membuktikan bahwa pepera merpakan kebohongan besar Jakarta dalam merampas hak-hak orang asli papua terhadap kebebasan merdeka. Fakta sejarah menunjukan, peristiwa-peristiwa penting yang mengiringi langkah perjuangan rakyat papua atas tanah mereka. Kekerasan yang teris terjadi membuat dunia internasiapnal bertanya,  apakah yang terjadi di papua ? stigma seperatis selalua mengiringi langkah kaki orang papua. Kekerasan dan Diskriminasi  merupakan potret kehidupan yang sudah biasa terjadi.
Kegagalan otsus membuktikan bahwa, otsus hanya dijadikan sebuah permen dalam meredam kegelisahan-kegelisahan rakyat papua dalam menuntut keadilan atas tanah mereka.

Konferensi ini diharapkan untuk membawa tentang perumusan masalah, konsep, karakteristik dan indikator Papua, Tanah Damai (Papua Tanah Damai). Konferensi ini dihadiri oleh 600-800 orang setiap hari yang terdiri dari 200 peserta dari daerah setempat di Papua. Sebagian besar dari mereka telah terlibat dalam Konsultasi Publik JDP pada Dialog Papua Jakarta digelar di 19 kabupaten dan kota yang wakil-wakil adat, kelompok perempuan agama dan pemuda.
Konferensi ini juga dihadiri oleh tamu dan pengamat dari asosiasi lokal, akademisi, mahasiswa, organisasi keagamaan, pengusaha, investor, wartawan, profesional medis, dan pasukan keamanan tugas dari Dewan Adat Papua.
Ada juga pengamat dari daerah luar Papua seperti Letnan Jenderal (Pur) Bambang Darmono, Prof Ikrar Nusa Bhakti, Prof.Indria Samego, Dr Elga Sarpaung dan Dr Richard Chauvel dari Victoria University, peneliti dan DPD RI (Dewan Perwakilan Lokal Bahasa Indonesia) yang penuh perhatian berpartisipasi dalam setiap sesi. Dewan perwakilan rakyat dari Papua dan Papua Barat juga terlihat di konferensi. Komite juga mengirimkan undangan khusus untuk KODAM XVII Cenderawasih (Komando Daerah Militer) dan Polda Papua.
Sebelum KPP diadakan, komite yang anggotanya semua JDP itu dilakukan persiapan. Meskipun sulit pada awalnya terutama ketika berurusan dengan komunikasi dengan pemerintah, pemerintah daerah khusus, berkomitmen berhasil untuk bertemu dengan Komandan Daerah Militer Papua, Kapolda Papua, dan Gubernur.
 dalam Dialog adalah cara menyelesaikan masalah tanpa kekerasan 

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Sweet Tomatoes Printable Coupons